Monday, March 2, 2009

Partisipasi Masyarakat menjelang Pemilu 2009

Pemilihan Umum atau sering disingkat dengan Pemilu adalah suatu proses dimana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan politik ini beraneka ragam, mulai dari Presiden, wakil rakyat di pelbagai tingkat pemerintahan sampai dengan Kepala Desa. Pemilu dalam sebuah negara demokratis merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat dielakkan. Melalui Pemilu rakyat yang berdaulat memilih wakil-wakilnya atau orang-orang yang diharapkan dapat memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya dalam suatu pemerintahan yang berkuasa. Dengan perkataan lain, melalui Pemilu rakyat dilibatkan dalam proses politik baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam tatanan demokrasi, pemilu juga menjadi mekanisme atau cara untuk memindahkan konflik kepentingan dari tataran masyarakat ke tataran badan perwakilan agar dapat diselesaikan secara damai dan adil sehingga kesatuan masyarakat tetap terjamin. Hal ini didasarkan pada prinsip demokrasi dimana segala perbedaan atau perbedaan kepentingan dimasyarakt tidak boleh diselesaikan dengan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan melainkan melalui musyawarah. Oleh karena itulah tugas wakil-wakil rakyat yang terpilih adalah melakukan musyawarah mengenai kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda agara tercapainya kepentingan umum yang nantinya dirumuskan ke dalam kebijakan umum.
Sepanjang sejarah, bangsa Indonesia telah melakukan Pemilihan Umum sebanyak 9 kali yaitu tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999 dan terakhir tahun 2004. Sebelum diamandemennya UUD 1945 pemilihan umum pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan yaitu DPR, DPRD Tingkat I (Provinsi) dan DPRD Tingkat II (Kabupaten/Kota). Tetapi setelah diamandemennya UUD 1945, maka pemilihan umum bukan saja ditujukan untuk memilih para anggota dewan (legislatif) yaitu DPR, DPD dan DPRD melainkan juga ditujukan untuk memilih Presiden/Wakil Presiden.
Prasyarat bagi berhasilnya pemilihan umum adalah adanya keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam pemilihan tersebut. Oleh karena itu, dalam mendukung keterlibatan masyarakat dalam pemilu hendaknya rakyat memperoleh informasi tentang calon-calon dan program yang ditawarkan oleh peserta pemilu. Hal ini sangat diperlukan, mengingat bahwa rakyat merupakan pemegang kedaulatan dan kekuasan sesungguhnya dalam Negara. Tingginya keterlibatan atau partisipasi masyarakat menunjukkan bahwa mereka telah memahami kehidupan politik. Sebaliknya rendahnya partisipasi masyarakat dapat dianggap sebagai rendahnya kepedulian dan pengetahuan masyarakat dalam kehidupan politik atau terdapat batasan serta tidak adanya kesempatan dalam kehidupan politik. Dengan kata lain, partisipasi masyarakat dalam kehidupan politik dapat disebut juga dengan partisipasi politik.
Menurut Samuel P. Hutington dan Joan M. Nelson Partisipasi Politik adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bias bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau seporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif. Jadi partisipasi politik masyarakat merupakan pengejewantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat. Anggota masyarakat yang berpartisipasi politik misalnya melalui pemberian suara atau kegiatan lain terdorong oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan bersama itu kepentingan mereka akan tersalur atau sekurang-kurangnya diperhatikan dan bahwa mereka sedikit banyak dapat mempengaruhi tindakan dari mereka yang berwenang untuk membuat keputusan yang mengikat. Atau mereka percaya bahwa kegiatan mereka mempunyai efek politik (political efficacy).
Keberhasilan untuk menegakkan prinsip partisipasi masyarakat dalam politik sangat tergantung kepada pemberdayaan masyarakat dalam dunia politik itu sendiri. Pemberdayaan masyarakat merupakan strategi besar dalam paradigma pembangunan yang berpusat pada masyarakat (people based development). Pendekatan ini menyadari pentingnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal, melalui kesanggupan untuk melakukan kontrol internal atas sumber daya material dan non material yang penting melalui redistribusi modal atau kepemilikan. Menurut Rappaport pemberdayaan adalah pelibatan masyarakat terhadap keadaan social, kekuatan politik dan haknya menurut Undang-Undang.
Pemberdayaan pada dasarnya adalah pemberian kekuatan kepada pihak yang tidak atau kurang berdaya agar dapat memiliki kekuatan yang menjadi modal dasar aktualisasi diri. Pemberdayaan yang dimaksud tidak hanya mengarah pada individu melainkan kolektif. Menurut Payne, tujuan utama pemberdayaan adalah membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan, yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan ribadi dan sosial dalam melakukan tindakan.
Dalam bukunya Demokrasi di Negeri Mimpi, Eko Prasojo menyebutkan bahwa, pemrakarsa partisipasi masyarakat dapat berasal dari atas (penguasa atau para ahli), bawah (masyarakat) atau pihak ketiga dari luar. Selanjutnya dikatakan, jika berasal dari atas, maka biasanya disertai oleh kontrol sosial tertentu atas proses dan pelaku-pelaku partisipasi. Partsipasi yang ideal yang sulit ditemukan dalam tataran praksis adalah partisipasi yang dimulai dari tingkat bawah dan berkembang ke tingkat atas menuju bidang-bidang yang semakin meluas dalam pembuatan keputusan.
Jeffry M. Paige menyebutkan dua indiaktor dalam menjelaskan pola partisipasi politik yaitu :
1. Kesadaran politik yaitu kesadaran seseorag akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang menyangkut pengetahuannya mengenai lingkungan masyarakat dan politik serta menyangkut minat dan perhatiannya terhadap lingkungan masyarakat dan politik tempat dia hidup.
2. Kepercayaan politik yaitu penilaian seseorang terhadap pemerintah dan sistem politik yang ada, apakah dapat dipercaya dan dapat dipengaruhi atau tidak.
Dalam rangka menegakkan atau menjalankan demoratisasi, maka bangsa Indonesia akan melaksanakan Pemilihan Umum ke 10 pada tahun 2009. Berkaca pada pemilu-pemilu sebelumnya masih banyak warga negara Indonesia yang tidak mengambil bagian dalam pemilu. Hal ini sangat disayangkan mengingat pemilu merupakan wadah bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi politiknya. Dengan perkataan lain, pemilu menjadi wujud partisipasi masyarakat atau warga negara dalam bidang politik. Semakin tinggi jumlah warga negara yang mengikuti pemilu, maka semakin besar pula bukti masyarakat Indonesia ikut berpartisipasi dalam dunia politik. Tetapi sebaliknya semakin rendah warga negara ikut pemilu, maka semakin rendah pula partisipasi politiknya dalam negara ini. Hal ini juga akan menunjukkan sejauhmana masyarakat perduli dengan bangsa dan kebijakan yang akan diambil oleh negara.
Berdasarkan data pemilu tahun 2004, dimana jumlah pemilih terdaftar untuk pemilu legislatif adalah sebesar 148.000.369 jiwa, namun hasil pemilihan tersebut menunjukkan bahwa pemenang pemilu sebenarnya adalah golongan putih (golput) atau pemilih yang tidak menggunakan haknya dengan baik. Jumlah golput pada pemilu tahun 2004 tersebut sebanyak 34.509.246 jiwa atau sebesar 23,34% dari jumlah pemilih terdaftar yang terdiri dari pemilih terdaftar yang tidak datang ke Tempat Pemungutan suara (TPS) sebanyak 23.551.321 jiwa, dan suara tidak sah sebesar 10.957.925 jiwa. Jumlah golput ini lebih besar dari jumlah perolehan parpol pemenang pemilu seperti Partai Golkar hanya sebanyak 24.480.757 jiwa (16,54%), PDI-P sebesar 21.026.629 jiwa (14,21%), dan PKB sebesar 11.989.564 jiwa (8,10%).
Dari data di atas menunjukkan bahwa pemilu pada tahun 2004 ini menghasilkan jumlah golput yang lebih besar dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya. Pada pemilu tahun 1999 jumlah golput hanya 10,4%, dan pada pemilu tahun 1955 angka golput yang tertinggi selama ini hanya sebesar 12,34%. Dengan demikian, hal ini menunjukkan bahwa jumlah golput meningkat cukup tajam.
Secara khusus hasil pemilu tahun 2004 di DKI Jakarta yang merupakan barometer dalam segala bidang termasuk dalam bidang politik, menunjukkan pemilih golput cukup tinggi yaitu sebanyak 2.144.971 jiwa (33,20%) dari jumlah pemilih terdaftar sebesar 6.461.572 jiwa. Bila dibandingkan dengan perolehan pemenang pemilu pada tingkat provinsi DKI Jakarta seperti PKS sebesar 985.031 jiwa (15,24%), Partai Demokrat sebanyak 908.246 jiwa (14,06%), PDI-P sebesar 581.806 jiwa (9,00%) dan Partai Golkar sebanyak 359.122 jiwa (5,56%), maka angka pemilih golput tetap masih lebih tinggi.
Pada saat pemilihan Presiden tahun 2004, jumlah angka golput pada putaran pertama adalah sebanyak 21,77%. Jumlah angka golput kemudian meningkat pada putaran kedua menjadi sebesar 22,56% atau sebanyak 33.981.479 jiwa dari jumlah pemilih sebanyak 155 juta. Pertambahan angka golput pada putaran kedua ini menunjukan partispasi politik masyarakat semakin berkurang.
Sementara pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta tahun 2007 yang lalu, jumlah angka golput juga lebih tinggi dibandingkan dengan angka pemenang Pilkada. Dari jumlah pemilih yang terdaftar, maka jumlah angka golput sebesar 2.241.003 jiwa (39,2), sedangkan suara untuk pemenang Pilkada yaitu Fauzi Bowo hanya sebesar 2.010.545 jiwa atau (35,1%) dan suara untuk Adang hanya 1.467.737 jiwa atau (25,7). Jumlah golput tersebut disebabkan pemilih atau masyarakat kota Jakarta tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada tersebut. Jumlah angka golput terbesar pada pilkada berada di Jakarta Utara sebanyak 39,59% sedangkan terendah di Jakarta Pusat 27,88%. Sementara di wilayah Jakarta lainnya berada pada kisaran 30 sampai 35%.
Dari data-data di atas, tingginya angka golput ini menunjukkan bagaimana partisipasi politik masyarakat dalam pemilu terbilang cukup rendah. Bukan saja pada tataran tingkat nasional, juga sampai pada tingkat provinsi seperti yang terjadi di DKI Jakarta. Disamping adanya indikasi masyarakat yang kurang perduli dengan pemilu, namun demikian masih ada alasan lain penyebab tingginya masyarakat tidak menggunakan hak pilihnya seperti masyarakat yang punya hak pilih tetapi tinggal di luar Jakarta. Tinggal di luar Jakarta dapat berarti pada saat hari pemilihan, para pemilih sedang berada di luar kota Jakarta atau dapat juga berarti pemilih memiliki identitas di kota Jakarta, namun tempat tinggal sudah berada di luar kota Jakarta. Dengan demikian pada saat hari pemilihan, pemilih tersebut malas untuk datan ke daerah tempat pemilihan. Selain itu tingginya angka golput juga dapat diakibatkan oleh kesalahan administrasi yang terjadi para pemilih.
Berkaiatan dengan partisipasi politik ini, maka Jefry M. Paige (Eko Prasojo : 2003 ) membagi pola partisipasi politik masyarakat menjadi 4 tipe yaitu :
1. Partisipasi politik aktif yaitu bila tingkat kesadaran dan kepercayaan politik masyarakat sudah tinggi.
2. Partisipasi politik apatis yaitu bila tingkat kesadaran dan kepercayaan politik masyarakat adalah rendah
3. Partispasi politik cenderung militan radikal yaitu bila tingkat kesadaran politik masyarakat tinggi, tetapi kepercayaan politik masyarakat rendah.
4. Partisipasi politik cenderung pasif yaitu bila tingkat kesadaran politik masyarakat rendah tetapi kepercayaan politiknya cukup tinggi.
Mengacu pada teori ini, tingginya angka golput pada setiap pemilihan umum yang dilakukan di Indonesia baik pemilihan presiden, Legislatif maupun kepala daerah maka sudah barang tentu diperlukan penelitian lebih lanjut oleh Pemerintah baik Pusat maupun daerah mengenai penyebab golputnya masyarakat dalam pemilihan tersebut. Diharapkan melalui penelitian ini akan diketahui penyebab golputnya masyarakat pemilih serta masuk dalam kategori yang mana dalam partisipasi politiknya. Dengan demikian pemerintah baik Pusat maupun daerah dapat mengambil kebijakan yang tepat untuk mengurangi angka golput serta mengurangi tingkat kesalahan administrasi dalam Pemilu.

No comments:

Post a Comment